Apa itu Web 3.0? Apakah cikal bakal teknologi revolusioner yang akan mengubah wajah internet, atau cuma istilah populer lain bikinan orang marketing? Semuanya belum jelas.
Tim O'Reilly pernah sukses mempopulerkan jargon Web 2.0, yang pada sebagian besar kasus merujuk pada penggunaan teknologi AJAX (Asynchronous Javascript And XML) pada situs-situs User-Generated Content (UGC). Dengan cepat Web 2.0 kemudian menjadi istilah generik. Orang pun ikut-ikutan menggunakan "2.0" sebagai buzzword - baik melenceng atau tidak dari pengertian awal. Segala hal biar keliatan trendy dikit dikasih label 2.0, dari pemasaran 2.0 sampai tempe bacem 2.0 he he ..
Banyak pihak percaya bahwa definisi Web 3.0 mengarah pada visi Tim Berners-Lee, sang bapak world wide web, tentang web sebagai medium universal untuk pertukaran data, informasi, dan pengetahuan. Beliau sendiri tidak pernah menyebut visinya itu dengan istilah web 3.0, melainkan web semantik (semantic web).
Melalui sebuah artikel di Scientific American, Tim menjelaskan bahwa web semantik adalah perkembangan world wide web (www) di mana aspek semantik dari informasi dan layanan-layanan web didefinisikan. Sebuah visi mengenai informasi yang dapat dimengerti oleh komputer, sehingga mereka (komputer) lebih mampu melakukan (atau mengambil alih) pekerjaan-pekerjaan yang membosankan bagi manusia meliputi pencarian, berbagi informasi, dan mengkombinasikan informasi yang ada di web.
Lebih jauh, di International Herald Tribune, Tim mengatakan bahwa web semantik merupakan komponen dari apa yang disebut "web 3.0". Inilah kutipan pernyataan Tim Berners-Lee dari IHT: "People keep asking what Web 3.0 is. I think maybe when you've got an overlay of scalable vector graphics - everything rippling and folding and looking misty - on Web 2.0 and access to a semantic Web integrated across a huge space of data, you'll have access to an unbelievable data resource." (Maaf, tidak saya terjemahkan karena sukar menemukan padanan kalimat yang pas dalam Bahasa Indonesia).
Membaca visi Professor Tim Berners-Lee tentang web dan komputer masa depan yang mampu mengolah informasi secara mandiri (tidak lagi bergantung pada manusia yang mengoperasikannya seperti yang ada saat ini), segera mengingatkan kita pada studi-studi tentang kecerdasan buatan (artificial intelligence), misalnya yang dilakukan oleh Professor Kevin Warwick si manusia cyborg.
Secara leksikal, definisi semantik adalah "yang berkaitan dengan arti kata". Dengan demikian web semantik - era web masa depan menurut visi Tim Berners-Lee - adalah teknologi web atau komputer yang mampu memahami arti kata. Ketika komputer telah mampu memahami arti kata dan memiliki rasa bahasa, maka pada saat itu dia telah memiliki kesamaan dengan manusia, karena pada dasarnya transfer pengetahuan manusia dihantarkan melalui elemen verbal/kebahasaan.
Apakah dengan demikian era web semantik yang dimaksud Tim adalah masa ketika mesin menjadi mandiri, memiliki ruang memori dan kapasitas pemrosesan data tingkat tinggi yang mampu menunjang kemampuan untuk mempelajari sesuatu sehingga tidak butuh intervensi manusia lagi dalam mengelola informasi? Apakah itu masa ketika mesin saling terhubung dalam jaringan global sehingga secara infrastruktur makin kuat dan mustahil untuk dihancurkan secara total? Well, jika itu yang dimaksud, maka dalam imajinasi yang paling liar kita telah mendekati periode waktu yang digambarkan oleh James Cameron lewat Terminator atau Wachowski bersaudara di trilogi The Matrix...
Tapi jangan pesimis dulu lah menghadapi masa depan. Opini lain yang lebih "cool" tentang Web 3.0 datang dari Eric Schmidt, CEO Google. Sama halnya dengan Tim, sebagai seorang yang memiliki latar belakang software engineer dan bukan orang marketing, Schmidt sebetulnya tidak begitu peduli dengan istilah web 2.0 atau web 3.0, karena istilah itu sebenarnya secara formal tidak dikenal di dunia TI. Dia bahkan sempat membikin lelucon tentang hal tersebut (lihat video di bawah, Visi Eric Schmidt Tentang Web 3.0, diupload oleh Seok Chan "Channy" Yun):
Pada event Seoul Digital Forum Eric Schmidt mengatakan, kalau Web 2.0 adalah musimnya AJAX, maka Web 3.0 akan merupakan era aplikasi-aplikasi dengan karakteristik memiliki ukuran relatif kecil, dapat berjalan baik pada PC maupun perangkat mobile, serta sangat cepat dan customizeable. Semua data berada dalam "cloud" dan didistribusikan secara viral melalui situs-situs social media, email, dan sebagainya ("While Web 2.0 was based on Ajax, Web 3.0 will be applications that are pieced together" with the characteristics that the apps are relatively small, can run on any device (PC or mobile), are very fast and very customizable, and the data is in the cloud and are distributed virally (via social medias, email, and more").
Jika definisi Eric Schmidt itu benar, maka kita tanpa sadar telah berada di gerbang era Web 3.0. Hal ini ditandai dengan hadirnya konsep cloud computing. Online collaborative apps seperti Google Docs yang baik aplikasi maupun file-file dokumen kerjanya tidak tersimpan di harddisk komputer pengguna melainkan di dalam "cloud" (sejatinya kita bahkan tidak butuh tahu disimpan di mana, sepanjang dokumen tersebut aman dan mudah diakses ..).
Google dan situs-situs social media terkemuka seperti Facebook dan Twitter menawarkan koleksi lengkap APIs dan tool buat para pengembang (developer) untuk membangun web apps berbasis layanan mereka. Demikian pula perusahaan-perusahaan perangkat lunak lain yang mulai me-webkan fungsi aplikasi mereka yang selama ini hanya tersedia secara offline. Mengedit foto dengan Photoshop online, membuat film animasi secara kolaboratif bersama animator dari seluruh dunia, sementara proses rendering yang membutuhkan kekuatan komputasi besar diserahkan ke server di luar sana, dan sebagainya.
Kita tunggu saja kehadiran sistem operasi Google Chrome OS yang akan segera hadir, yang disebut-sebut mendukung konsep itu secara penuh. Yang jelas dua visi berbeda yang keluar dari mulut dua "singa" teknologi ini tidak boleh kita abaikan.
Tim O'Reilly pernah sukses mempopulerkan jargon Web 2.0, yang pada sebagian besar kasus merujuk pada penggunaan teknologi AJAX (Asynchronous Javascript And XML) pada situs-situs User-Generated Content (UGC). Dengan cepat Web 2.0 kemudian menjadi istilah generik. Orang pun ikut-ikutan menggunakan "2.0" sebagai buzzword - baik melenceng atau tidak dari pengertian awal. Segala hal biar keliatan trendy dikit dikasih label 2.0, dari pemasaran 2.0 sampai tempe bacem 2.0 he he ..
Banyak pihak percaya bahwa definisi Web 3.0 mengarah pada visi Tim Berners-Lee, sang bapak world wide web, tentang web sebagai medium universal untuk pertukaran data, informasi, dan pengetahuan. Beliau sendiri tidak pernah menyebut visinya itu dengan istilah web 3.0, melainkan web semantik (semantic web).
Melalui sebuah artikel di Scientific American, Tim menjelaskan bahwa web semantik adalah perkembangan world wide web (www) di mana aspek semantik dari informasi dan layanan-layanan web didefinisikan. Sebuah visi mengenai informasi yang dapat dimengerti oleh komputer, sehingga mereka (komputer) lebih mampu melakukan (atau mengambil alih) pekerjaan-pekerjaan yang membosankan bagi manusia meliputi pencarian, berbagi informasi, dan mengkombinasikan informasi yang ada di web.
Lebih jauh, di International Herald Tribune, Tim mengatakan bahwa web semantik merupakan komponen dari apa yang disebut "web 3.0". Inilah kutipan pernyataan Tim Berners-Lee dari IHT: "People keep asking what Web 3.0 is. I think maybe when you've got an overlay of scalable vector graphics - everything rippling and folding and looking misty - on Web 2.0 and access to a semantic Web integrated across a huge space of data, you'll have access to an unbelievable data resource." (Maaf, tidak saya terjemahkan karena sukar menemukan padanan kalimat yang pas dalam Bahasa Indonesia).
Membaca visi Professor Tim Berners-Lee tentang web dan komputer masa depan yang mampu mengolah informasi secara mandiri (tidak lagi bergantung pada manusia yang mengoperasikannya seperti yang ada saat ini), segera mengingatkan kita pada studi-studi tentang kecerdasan buatan (artificial intelligence), misalnya yang dilakukan oleh Professor Kevin Warwick si manusia cyborg.
Secara leksikal, definisi semantik adalah "yang berkaitan dengan arti kata". Dengan demikian web semantik - era web masa depan menurut visi Tim Berners-Lee - adalah teknologi web atau komputer yang mampu memahami arti kata. Ketika komputer telah mampu memahami arti kata dan memiliki rasa bahasa, maka pada saat itu dia telah memiliki kesamaan dengan manusia, karena pada dasarnya transfer pengetahuan manusia dihantarkan melalui elemen verbal/kebahasaan.
Apakah dengan demikian era web semantik yang dimaksud Tim adalah masa ketika mesin menjadi mandiri, memiliki ruang memori dan kapasitas pemrosesan data tingkat tinggi yang mampu menunjang kemampuan untuk mempelajari sesuatu sehingga tidak butuh intervensi manusia lagi dalam mengelola informasi? Apakah itu masa ketika mesin saling terhubung dalam jaringan global sehingga secara infrastruktur makin kuat dan mustahil untuk dihancurkan secara total? Well, jika itu yang dimaksud, maka dalam imajinasi yang paling liar kita telah mendekati periode waktu yang digambarkan oleh James Cameron lewat Terminator atau Wachowski bersaudara di trilogi The Matrix...
Tapi jangan pesimis dulu lah menghadapi masa depan. Opini lain yang lebih "cool" tentang Web 3.0 datang dari Eric Schmidt, CEO Google. Sama halnya dengan Tim, sebagai seorang yang memiliki latar belakang software engineer dan bukan orang marketing, Schmidt sebetulnya tidak begitu peduli dengan istilah web 2.0 atau web 3.0, karena istilah itu sebenarnya secara formal tidak dikenal di dunia TI. Dia bahkan sempat membikin lelucon tentang hal tersebut (lihat video di bawah, Visi Eric Schmidt Tentang Web 3.0, diupload oleh Seok Chan "Channy" Yun):
Pada event Seoul Digital Forum Eric Schmidt mengatakan, kalau Web 2.0 adalah musimnya AJAX, maka Web 3.0 akan merupakan era aplikasi-aplikasi dengan karakteristik memiliki ukuran relatif kecil, dapat berjalan baik pada PC maupun perangkat mobile, serta sangat cepat dan customizeable. Semua data berada dalam "cloud" dan didistribusikan secara viral melalui situs-situs social media, email, dan sebagainya ("While Web 2.0 was based on Ajax, Web 3.0 will be applications that are pieced together" with the characteristics that the apps are relatively small, can run on any device (PC or mobile), are very fast and very customizable, and the data is in the cloud and are distributed virally (via social medias, email, and more").
Jika definisi Eric Schmidt itu benar, maka kita tanpa sadar telah berada di gerbang era Web 3.0. Hal ini ditandai dengan hadirnya konsep cloud computing. Online collaborative apps seperti Google Docs yang baik aplikasi maupun file-file dokumen kerjanya tidak tersimpan di harddisk komputer pengguna melainkan di dalam "cloud" (sejatinya kita bahkan tidak butuh tahu disimpan di mana, sepanjang dokumen tersebut aman dan mudah diakses ..).
Google dan situs-situs social media terkemuka seperti Facebook dan Twitter menawarkan koleksi lengkap APIs dan tool buat para pengembang (developer) untuk membangun web apps berbasis layanan mereka. Demikian pula perusahaan-perusahaan perangkat lunak lain yang mulai me-webkan fungsi aplikasi mereka yang selama ini hanya tersedia secara offline. Mengedit foto dengan Photoshop online, membuat film animasi secara kolaboratif bersama animator dari seluruh dunia, sementara proses rendering yang membutuhkan kekuatan komputasi besar diserahkan ke server di luar sana, dan sebagainya.
Kita tunggu saja kehadiran sistem operasi Google Chrome OS yang akan segera hadir, yang disebut-sebut mendukung konsep itu secara penuh. Yang jelas dua visi berbeda yang keluar dari mulut dua "singa" teknologi ini tidak boleh kita abaikan.
Komentar
Posting Komentar