Tsar Bomba atau Big Ivan adalah nickname buat bom hidrogen RDS-220 yang dibuat oleh Uni Soviet pada era Nikita Khrushchev dan sukses diujicoba (diledakkan) pada 30 Oktober 1961 di Kepulauan Novaya Zemlya. Sampai saat ini Tsar Bomba mencatat rekor sebagai senjata nuklir paling powerful yang pernah dibuat dan diledakkan, dengan daya ledak (nuclear yield) sebesar 50 Megaton, alias setara dengan 50 juta ton Trinitrotoluene (TNT) diledakkan sekaligus (perkiraan Amerika Serikat bahkan menyebutkan 57 Mt).
Sekadar perbandingan, kekuatan ledakan Tsar Bomba setara dengan sepuluh kali lipat jumlah semua bahan peledak yang digunakan selama perang dunia kedua, termasuk di dalamnya Little Boy dan Fat Man, dua bom atom yang dijatuhkan Amerika Serikat ke kota Hiroshima dan Nagasaki.
Bom nuklir paling kuat yang pernah dibuat Amerika Serikat, B41 (sudah decommissioned), memiliki maximum yield "hanya" 25 Megaton alias separuh kekuatan Tsar Bomba. Itu pun hanya disimpan saja, tidak pernah diuji coba. Bom nuklir terbesar yang pernah diuji coba oleh Amerika adalah Castle Bravo, dengan kekuatan 15 Megaton. Jauh di bawah kekuatan sang Big Ivan.
Tsar Bomba didesain dengan hululedak nuklir mencapai 100 Megaton. Kekuatan ini dapat dicapai karena Bomba memiliki desain tiga tingkat: fisi-fusi-fisi. Bom hidrogen (H-bomb) dengan desain tiga tingkat menggunakan reaksi fisi (pembelahan) primer untuk memicu reaksi termonuklir tingkat kedua (fusi atau penggabungan), kemudian menggunakan energi dari ledakan yang dihasilkan untuk memicu reaksi termonuklir ketiga yang jauh lebih besar.
Untuk keperluan uji coba, uranium-238 fusion tamper pada tingkat ketiga diganti dengan tamper timbal guna mengurangi kekuatan hululedak nuklir hingga separuh dari desain awal (50 megaton). Pengurangan daya ledak ini dilakukan guna menurunkan tingkat risiko jatuhan radiasi nuklir (fallout) yang dihasilkan.
Dengan ukuran panjang delapan meter dan diamater dua meter, berat keseluruhan Tsar Bomba mencapai 27 ton. Tsar Bomba dijatuhkan dari pesawat pembom Tupolev Tu-95V pada ketinggian 10,5 kilometer. Pada bom ditambahkan sensor barometrik yang dirancang untuk memicu detonasi ketika mencapai ketinggian 4,2 kilometer. Sebuah parasut nilon dengan fall-retardation 800 kilogram digunakan untuk memperlambat jatuhnya bom, memberi kesempatan kru pesawat ngacir hingga jarak aman sejauh 45 kilometer dari pusat ledakan (ground zero). Badan pesawat Tu-95 dan pesawat pengiring Tu-16 yang menjadi observer guna mengambil sampel udara dan mendokumentasikan ujicoba tersebut dicat dengan cat putih dari bahan khusus yang mampu merefleksikan radiasi sehingga mengurangi efek panas dari ledakan yang dapat merusak pesawat.
Ketika meledak, bola api raksasa yang ditimbulkan oleh ledakan Tsar Bomba mencapai diameter delapan kilometer. Bola api tersebut dapat terlihat hampir 1000 kilometer dari pusat ledakan. Panas dari ledakan yang begitu tinggi menyebabkan luka bakar tingkat tiga bahkan pada jarak sejauh 64 kilometer. Sebagai gambaran, seandainya dijatuhkan di pusat kota Yogyakarta, orang yang berada di Solo ikut gosong karena luka bakar .. Cuma gambaran saja ..
Awan jamur dari ledakan mencapai ketinggian 64 kilometer (tujuh kali tinggi Mount Everest) dan lebar 40 kilometer. Gelombang kejut yang ditimbulkan ledakan terekam hingga tiga kali mengorbit bumi. Energy yield tercatat sekitar 7,1 pada skala Richter, namun sebagian besar tidak menjadi gelombang seismik karena bom tersebut diledakkan di udara, bukan di permukaan atau bawah tanah. Ledakan Tsar Bomba 3.800 kali lebih kuat dari Little Boy, bom atom yang menghancurkan kota Hiroshima.
Tsar Bomba merupakan puncak dari perlombaan senjata nuklir antara Amerika Serikat dan Uni Soviet pada kurun 1950-an. Pada masa itu kedua negara banyak memproduksi bom-bom nuklir dengan daya ledak yang tidak tanggung-tanggung besarnya dengan sejumlah pertimbangan:
1. Desain bom nuklir pada saat itu cenderung besar dan berat, dan hanya dapat dibawa menuju sasaran menggunakan pesawat pembom strategis untuk dijatuhkan tepat di sasaran. Belum ada peluru kendali antar benua pada masa itu. Karena itulah memberi kekuatan ledak yang besar dipandang lebih menguntungkan, impas dengan risiko maupun biaya untuk membawanya menuju sasaran.
2. Pesawat pembom memiliki kelemahan yakni berukuran besar dan lambat, sehingga dikhawatirkan akan mudah dideteksi dan disergap sebelum mencapai target. Karena itu, memaksimalkan daya ledak bom nuklir yang dibawa dipandang vital. Seandainya pesawat tidak mampu mencapai target karena keburu dicegat di tengah perjalanan, bom dapat langsung diledakkan di tempat tersebut. Diharapkan setidaknya daya rusak yang ditimbulkan masih dapat mencapai sasaran sesungguhnya.
3. Kedua belah pihak tidak mengetahui secara pasti lokasi markas militer dan fasilitas industri lawannya (saat itu belum ada satelit mata-mata). Karena itu serangan acak lebih diandalkan. Menggunakan bom nuklir, asal kekuatan ledaknya besar, dijatuhkan secara ngawur sekalipun pasti akan menghancurkan segala yang ada, termasuk menghancurkan target walau tidak dibidik secara akurat.
Bom-bom nuklir yang dibuat pada periode tersebut didesain untuk mampu menghancurkan sebuah kota besar (misal New York atau Moskow) sekalipun dijatuhkan meleset sejauh sepuluh kilometer dari sasaran. Namun filosofi "size does matter" dan "bakar seluruh rumah untuk membunuh seekor tikus" semacam itu menjadi usang ketika teknologi navigasi satelit berkembang dan tingkat akurasi lebih diutamakan.
Senjata-senjata nuklir generasi berikutnya didesain dengan fokus pada ketepatan, perampingan, dan keamanan. Standar yang jamak digunakan kemudian adalah mengemas beberapa hululedak nuklir berukuran kecil ke dalam satu rudal (MIRVs), dengan skenario hululedak-hululedak itu "disebar" ke beberapa target. Metode ini jauh lebih efisien, karena dalam sekali peluncuran rudal akan mampu menghancurkan banyak sasaran sekaligus.
Dengan filosofi perang nuklir yang telah berubah menjadi lebih moderat, boleh jadi Tsar Bomba akan selamanya menjadi pemegang rekor sebagai senjata paling mematikan yang pernah dibuat dalam sejarah umat manusia, dari Nabi Adam hingga akhir zaman kelak. Semoga saja. Bayangkan jika masih ada orang yang berpikir untuk memecahkan rekornya, apa kata dunia?
Sekadar perbandingan, kekuatan ledakan Tsar Bomba setara dengan sepuluh kali lipat jumlah semua bahan peledak yang digunakan selama perang dunia kedua, termasuk di dalamnya Little Boy dan Fat Man, dua bom atom yang dijatuhkan Amerika Serikat ke kota Hiroshima dan Nagasaki.
Bom nuklir paling kuat yang pernah dibuat Amerika Serikat, B41 (sudah decommissioned), memiliki maximum yield "hanya" 25 Megaton alias separuh kekuatan Tsar Bomba. Itu pun hanya disimpan saja, tidak pernah diuji coba. Bom nuklir terbesar yang pernah diuji coba oleh Amerika adalah Castle Bravo, dengan kekuatan 15 Megaton. Jauh di bawah kekuatan sang Big Ivan.
Tsar Bomba didesain dengan hululedak nuklir mencapai 100 Megaton. Kekuatan ini dapat dicapai karena Bomba memiliki desain tiga tingkat: fisi-fusi-fisi. Bom hidrogen (H-bomb) dengan desain tiga tingkat menggunakan reaksi fisi (pembelahan) primer untuk memicu reaksi termonuklir tingkat kedua (fusi atau penggabungan), kemudian menggunakan energi dari ledakan yang dihasilkan untuk memicu reaksi termonuklir ketiga yang jauh lebih besar.
Untuk keperluan uji coba, uranium-238 fusion tamper pada tingkat ketiga diganti dengan tamper timbal guna mengurangi kekuatan hululedak nuklir hingga separuh dari desain awal (50 megaton). Pengurangan daya ledak ini dilakukan guna menurunkan tingkat risiko jatuhan radiasi nuklir (fallout) yang dihasilkan.
Dengan ukuran panjang delapan meter dan diamater dua meter, berat keseluruhan Tsar Bomba mencapai 27 ton. Tsar Bomba dijatuhkan dari pesawat pembom Tupolev Tu-95V pada ketinggian 10,5 kilometer. Pada bom ditambahkan sensor barometrik yang dirancang untuk memicu detonasi ketika mencapai ketinggian 4,2 kilometer. Sebuah parasut nilon dengan fall-retardation 800 kilogram digunakan untuk memperlambat jatuhnya bom, memberi kesempatan kru pesawat ngacir hingga jarak aman sejauh 45 kilometer dari pusat ledakan (ground zero). Badan pesawat Tu-95 dan pesawat pengiring Tu-16 yang menjadi observer guna mengambil sampel udara dan mendokumentasikan ujicoba tersebut dicat dengan cat putih dari bahan khusus yang mampu merefleksikan radiasi sehingga mengurangi efek panas dari ledakan yang dapat merusak pesawat.
Ketika meledak, bola api raksasa yang ditimbulkan oleh ledakan Tsar Bomba mencapai diameter delapan kilometer. Bola api tersebut dapat terlihat hampir 1000 kilometer dari pusat ledakan. Panas dari ledakan yang begitu tinggi menyebabkan luka bakar tingkat tiga bahkan pada jarak sejauh 64 kilometer. Sebagai gambaran, seandainya dijatuhkan di pusat kota Yogyakarta, orang yang berada di Solo ikut gosong karena luka bakar .. Cuma gambaran saja ..
Awan jamur dari ledakan mencapai ketinggian 64 kilometer (tujuh kali tinggi Mount Everest) dan lebar 40 kilometer. Gelombang kejut yang ditimbulkan ledakan terekam hingga tiga kali mengorbit bumi. Energy yield tercatat sekitar 7,1 pada skala Richter, namun sebagian besar tidak menjadi gelombang seismik karena bom tersebut diledakkan di udara, bukan di permukaan atau bawah tanah. Ledakan Tsar Bomba 3.800 kali lebih kuat dari Little Boy, bom atom yang menghancurkan kota Hiroshima.
Tsar Bomba merupakan puncak dari perlombaan senjata nuklir antara Amerika Serikat dan Uni Soviet pada kurun 1950-an. Pada masa itu kedua negara banyak memproduksi bom-bom nuklir dengan daya ledak yang tidak tanggung-tanggung besarnya dengan sejumlah pertimbangan:
1. Desain bom nuklir pada saat itu cenderung besar dan berat, dan hanya dapat dibawa menuju sasaran menggunakan pesawat pembom strategis untuk dijatuhkan tepat di sasaran. Belum ada peluru kendali antar benua pada masa itu. Karena itulah memberi kekuatan ledak yang besar dipandang lebih menguntungkan, impas dengan risiko maupun biaya untuk membawanya menuju sasaran.
2. Pesawat pembom memiliki kelemahan yakni berukuran besar dan lambat, sehingga dikhawatirkan akan mudah dideteksi dan disergap sebelum mencapai target. Karena itu, memaksimalkan daya ledak bom nuklir yang dibawa dipandang vital. Seandainya pesawat tidak mampu mencapai target karena keburu dicegat di tengah perjalanan, bom dapat langsung diledakkan di tempat tersebut. Diharapkan setidaknya daya rusak yang ditimbulkan masih dapat mencapai sasaran sesungguhnya.
3. Kedua belah pihak tidak mengetahui secara pasti lokasi markas militer dan fasilitas industri lawannya (saat itu belum ada satelit mata-mata). Karena itu serangan acak lebih diandalkan. Menggunakan bom nuklir, asal kekuatan ledaknya besar, dijatuhkan secara ngawur sekalipun pasti akan menghancurkan segala yang ada, termasuk menghancurkan target walau tidak dibidik secara akurat.
Bom-bom nuklir yang dibuat pada periode tersebut didesain untuk mampu menghancurkan sebuah kota besar (misal New York atau Moskow) sekalipun dijatuhkan meleset sejauh sepuluh kilometer dari sasaran. Namun filosofi "size does matter" dan "bakar seluruh rumah untuk membunuh seekor tikus" semacam itu menjadi usang ketika teknologi navigasi satelit berkembang dan tingkat akurasi lebih diutamakan.
Senjata-senjata nuklir generasi berikutnya didesain dengan fokus pada ketepatan, perampingan, dan keamanan. Standar yang jamak digunakan kemudian adalah mengemas beberapa hululedak nuklir berukuran kecil ke dalam satu rudal (MIRVs), dengan skenario hululedak-hululedak itu "disebar" ke beberapa target. Metode ini jauh lebih efisien, karena dalam sekali peluncuran rudal akan mampu menghancurkan banyak sasaran sekaligus.
Dengan filosofi perang nuklir yang telah berubah menjadi lebih moderat, boleh jadi Tsar Bomba akan selamanya menjadi pemegang rekor sebagai senjata paling mematikan yang pernah dibuat dalam sejarah umat manusia, dari Nabi Adam hingga akhir zaman kelak. Semoga saja. Bayangkan jika masih ada orang yang berpikir untuk memecahkan rekornya, apa kata dunia?
Komentar
Posting Komentar